Minggu, 27 Mei 2012

Jadal al-Qur’an


Kata Pengantar

Al-qur’an adalah mu’jizat Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw sebagai nabi terakhir. al-Qur’an adalah kitabullah yang akan selalu dijaga keasliannya dari allah sesuai dengan firmannya;
إنا نحن نزلنا الذكر وإنا له لحافظون
Artinya
Sesunguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar meliharanya.

Ayat ini jaminan tentang kesucian dan kemurnian al-Qur’an selama-lamanya.
Al-Qur’an diturunkan secara bertahap sehingga benar-benar tidak perlu dipertanyakan lagi kenukjizatannya. Tahapannya yang pertama ditempatkan ke al-lauh al-mahfudz, yang kedua diturunkan dari al-Lauh al-Mahfudz ke Baitul al-Izzah. dan yang ketiga adalah dari Baitul al-Izzah klangsung kepada nabi Muhammad.

Dari beberapa tahap ini, terlihat jelas betapa sucinya al-Qur’an.  Seiring dengan perkembangan zaman, banyak orang-orang yang meneliti tentang kebenaran al-Qur’an. Bahkan orang-orang non islampun berlomba-lomba unntuk meneliti tentang kebenaran al-Qur’an.

Pada makalah bagian ini, kami mencoba membahas sedikit tentang Jadal al-Qur’an (perdebatan al-Qur’an).










BAB I

PENDAHULUAN


Keangkuhan dan kesombongan seringkali mendorong seseorang untuk membangkitkan keraguan dan mengacaukan hakikat-hakikat kebenaran dengan berbagai kerancuan yang dibungkus baju kebebasan dan dihiasi dengan cermin rasionalitas. Yang demikian itu perlu dihadapi dengan kemampuan argumentasi yang kuat untuk dapat membuktikan hakikat-hakikat kebenaran tersebut. Al-Qur’an, seruan Allah, kepada seluruh umat manusia, berdiri tegak dihadapan berbagai macam arus yang mengupayakan kebatilan untuk mengingkari hakikat-hakikatnya dan memperdebatkan pokok-pokoknya. Untuk itu, ia perlu berdialog dan membungkam intrik-intrik mereka secara kongkrit dan realistis, serta menghadapi mereka dengan uslub bahasa yang memuaskan, argumentasi yang pasti dan bantahan yang tegar.[1] Yang demikian itu dalam kajian ulum al-Qur’an lebih dikenal dengan istilah jadal al-Qur’an.[2]
Kalau diperhatikan cara berdialog atau jadal yang dilakukan al-Qur’an, dapat diperoleh gambaran bahwa dalam mengemukakan suatu pernyataan ia selalu memberikan bukti yang kuat sehingga sulit untuk dibantah oleh siapapun. Hal ini cocok dengan fitrah manusia, sehingga dengan demikian al-Qur’an dapat dipahami oleh semua lapisan masyarakat dari generasi ke generasi. Dengan cara bedebat  seperti itu, maka secara obyektif semua orang akan menerima dan meyakini kebenaran al-Qur’an.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang apa yang dimaksud dengan Jadal al-Qur’an, dan bagaimana al-Qur’an berdialog dengan pihak-pihak lain yang menjadi sasaran utamanya, serta dimana relevansinya dengan jadal al-Qur’an itu sendiri, akan dibahas dalam makalah ini.







BAB II

JADAL AL-QUR’A<N
(Sebuah Kritisisme Teks atas Objek)

A.    Pengertian Jadal al-Qur’an

Secara bahasa, kata jadal adalah bentuk masdar dari ja-da-la yaj-du-lu atau yaj-di-lu, artinya kokoh; atau dari ja-di-la yaj-da-lu, artinya menantang atau membantah dengan keras. Sedangkan kata jida>l atau muja>dalah adalah isim masdar dari ja>-da-la yu-ja>-di-lu, artinya saling berselisih atau bertentangan.[3] Dari pengertian ini, jelaslah bahwa kata jadal dan jida>l atau muja>dalah meskipun secara strukturnya berbeda, namun pada hakikatnya memiliki pengertian dan akar kata yang sama. Oleh karena itulah dalam wacana Ulum al-Qur’an, kedua istilah tersebut digunakan dengan maksud dan pengertian yang sama. Untuk selanjutnya, dalam makalah ini, istilah yang digunakan adalah Jadal al-Qur’an.
Dalam Mu’ja>m Alfa>zh al-Qur’>an al-Kari>m, jadal diartikan dengan perbedaan pendapat yang mengandung permusuhan atau perselisihan yang sengit.[4] Al-Raghib al-Asfahani dalam karyanya, Mu’jam Mufrada>t Alfa>zh al-Qur’an, mengartikan jadal, dengan berunding atau berdiskusi atau berdialog karena adanya perselisihan atau perbedaan.[5] Ibn Manzur dalam karyanya, Lisan al-Arab, mengartikan jadal dengan saling mengemukakan alasan.[6] Dalam bahasa Inggris, jadal diterjemahkan dengan argument, dispute, controversy, dan discussion,[7] yang kesemuanya mengandung pengertian perselisihan atau perbedaan pendapat.[8]
Secara istilah, jadal menurut al-Jurjani adalah sebuah ungkapan yang menunjukkan adanya suatu perbedaan yang diikuti dengan penampakan dan penetapan pendapat. Ibn Sina menyatakan bahwa muja>dalah (sinonim dari jadal) adalah terjadinya pertentangan yang dilakukan dengan cara yang baik dan terpuji di kalangan para ahli. Pengarang buku Misbah al-Munir mendefinisikan jadal dengan saling mengemukakan pendapat untuk mencari yang lebih baik. Abu al-Baqa’ mengatakan bahwa jadal adalah sebuah istilah yang menunjukkan adanya tanggapan seseorang disertai argumentasi atau yang sejenisnya terhadap orang lain yang menentangnya secara salah, yang selalu diwarnai dengan perselisihan.[9]
Adapun al-Qur’an adalah kitab suci agama Islam yang terdiri dari 30 juz, 114 surat dan 6616 ayat.
Dari beberapa pengertian di atas, al-Alma’i mencoba mendefinisikan jadal al-Qur’an secara lebih komprehensif, yaitu argumentasi yang dikemukakan al-Qur’an yang berisi petunjuk bagi orang-orang yang menentangnya. Dengan maksud dan tujuan agar semua yang diajarkan oleh al-Qur’an dapat melekat dan tertanam di dalam hati manusia.[10] Dengan ungkapan yang lebih umum dan komprehensif dapat pula dikatakan bahwa Jadal al-Qur’an merupakan tanggapan atau sanggahan al-Qur’an yang ditujukan kepada pihak-pihak yang berbeda pendapatnya dengan apa yang diajarkan oleh al-Qur’an agar ajaran-ajaran al-Qur’an tersebut dapat dipahami oleh umat manusia.

B.     Sekilas Tentang Sejarah dan Perkembangan Jadal al-Qur’an

Secara umum jadal dalam arti pertentangan atau perselisihan atau perbedaan pendapat muncul bersamaan dengan adanya manusia di muka bumi ini, bahkan menurut perspektif al-Qur’an, jadal sudah ada jauh sebelum manusia pertama, Adam AS. diciptakan dan dilempar ke dunia yaitu jadal yang dilakukan oleh malaikat ketika Allah SWT menyatakan untuk menciptakan “khalifah” di muka bumi,[11] dan jadal yang dilakukan Iblis ketika diperintah oleh Allah SWT untuk bersujud kepada Adam AS.[12] Ini berarti bahwa jadal merupakan sifat dasar dan sekaligus sebagai dinamika dalam kehidupan umat manusia, bahkan pada hari kiamat nanti.[13]
Sedangkan jadal sebagai sebuah ilmu yang dipelajari dan diterapkan, bersumber pada filsafat Yunani. Menurut al-Syarqani, jadal sebagai sebuah ilmu (ilmu jadal) diawali oleh paham dialektika yang dicetuskan oleh Heraklitos, kemudian dikembangkan oleh Sokrates, Plato dan Aristoteles dengan nama ilmu logika. Pemikiran para filsof Yunani ini kemudian mempengaruhi pemikiran serta memberikan inspirasi bagi umat Islam untuk menyusun ilmu jadal yang lebih sesuai dengan ajaran Islam.[14]
Adapun hal-hal yang menyebabkan berkembangnya masalah jadal di kalangan umat Islam adalah sebagai berikut:
1)      Meluasnya wilayah Islam dan masuknya para pemeluk agama lain ke dalam negara Islam yang kemudian terjadi penyusupan dan pencampuran hukum-hukum mereka kepada umat Islam dan ini tentu saja menimbulkan perdebatan.
2)      Adanya pemeluk agama lain yang memeluk agama Islam. Di antara mereka ini ada yang mencampur ajaran-ajaran sebelumnya dengan ajaran-ajaran Islam karena ketidaktahuan mereka. Di samping itu ada pula yang memang sengaja menyusup ke dalam Islam hanya untuk menyebarkan fitnah dan kekacauan. Ini tentu saja memaksa umat Islam untuk membantahnya.
3)      Adanya sebagian teks-teks al-Qur’an dan sunnah Nabi yang nampak berbeda dengan apa yang telah dikenal dan disepakati di kalangan para sahabat sehingga perlu dita’wil dan ditafsir. Keadaan ini sering menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan umat Islam, sehingga disalahgunakan oleh orang-orang yang berniat tidak baik untuk memecah belah umat Islam. Hal ini mengharuskan umat Islam untuk mendiskusikannya agar umat Islam terhindar dari permusuhan dan perpecahan.
4)      Munculnya kecenderungan penggunaan akal-pikiran sebagai trend dalam pembahasan berbagai masalah, karena dorongan kondisi sosial politik yang sudah aman dan tenteram.
5)      Berkembangnya lembaga-lembaga hukum di kota-kota Islam dalam menyelesaikan berbagai perkara yang menimpa msayarakat ditambah lagi adanya keinginan yang besar dari masyarakat untuk mengetahui hikmah agama, kemudian mereka mendatangi lembaga-lembaga tersebut dan mendengarkan serta menanggapi apa yang dikatakan para hakim. Sehingga muncullah kebiasaan untuk berdiskusi atau berdialog.
6)      Adanya serangan dan tuduhan dari orang-orang Yahudi, Nasrani, Atheis dan lain-lain terhadap Islam sebagai agama yang penuh dengan keraguan dan ketidakjelasan, sehingga dianggap tidak layak sebagai sebuah agama. Lalu mereka menyebarkan tipu daya dan menentang umat Islam di segala tempat. Ini memaksa para tokoh Islam melakukan pembelaan untuk melemahkan dan menghancurkan pendapat dan keyakinan mereka.
7)      Pembahasan tentang tema-tema yang sulit dipahami. Seperti tentang hal-hal ghaib, senantiasa menjadi medan bagi para pembahas yang masing-masing merasa paling benar. Metode taqlid tidak akan mampu sampai pada hakikat persioalan, lalu dikembangkanlah metode diskusi yang dirasa akan lebih baik akibatnya.[15]
Dari uraian di atas jelaslah bahwa berkembangnya ilmu jadal di kalangan umat Islam karena adanya perbedaan pendapat atau perselisihan di antara mereka sendiri. Lebih-lebih dengan pemeluk agama lain.

C.    Jadal al-Qur’an dan Pihak Lain
Dalam al-Quran istilah pihak lain atau orang lain diungkapkan dengan kata akhar, akharun, ukhra atau ukhar. Kata akhar dan bentuk-bentuknya yang lain digunakan al-Qur’an sebanyak 70 kali.[16]  Adapun penggunaannya antara lain berkisar untuk mengungkapkan tentang Tuhan selain Allah,[17] tentang suatu kelompok, golongan atau bangsa selain kelompok, golongan atau bangsa tertentu,[18] tentang agama atau pemeluk agama selain Islam,[19] dan lain-lain.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pihak lain adalah sesuatu yang bukan (diluar) diri atau kelompok atau golongan tertentu, baik posisinya sebagai orang kedua (kamu/kalian), atau sebagai orang ketiga (dia/mereka), dimana antara diri, kelompok atau golongan tertentu tersebut terjadi suatu hubungan atau interaksi untuk saling mengenal  satu dengan yang lainnya karena adanya perasaan berbeda.
Permasalahannya , apa atau siapa yang disebut sebagai pihak lain dalam al-Qur’an, dan dimana relevansinya dengan jadal al-Qur’an?
Jawaban pertanyaan ini tentu saja terkait erat dengan status al- Qur’an sebagai kitab suci bagi agama Islam. Jadi yang dimaksud dengan pihak lain dalam al-Qur’an dalam konteks ini tentunya mengacu kepada agama atau keagamaan selain Islam atau orang-orang non-Muslim, seperti: Kafir, Musyrik, dan para pemeluk agama selain Islam seperti: Yahudi, Nasrani, Majusi dan sebagainya.
Pihak-pihak lain inilah yang menjadi salah satu obyek atau sasaran jadal al-Qur’an. Di sinilah relevansi antara jadal al-Qur’an dan pihak lain, khususnya terhadap agama atau pemeluk agama selain Islam, jadal al-Qur’an menampakkan aspek-aspek dialogis, yang selanjutnya dibangun beberapa paradigma dialog antar agama.
1.         Kafir (kufr)
Kafir (kufr) pada dasarnya merupakan antitesis dari Iman, Sedangkan iman adalah bagian dari ajarna Islam yang penting dan fundamental.[20] 
Para ulama’ berbeda pendapat dalam menetapkan batasan kafir sebagaimana mereka berbeda pendapat dalam membuat batasan iman. Kalau iman diartikan dengan “pembenaran” (al-tasdiq) terhadap Rasulullah saw. Berikut ajaran-ajaran  yang dibawanya, maka kafir diartikan dengan “pendustaan” (al-takzib) terhadap Rasulullah dan ajaran-ajaran beliau. Inilah batasan-batasan yang paling umum dan sering digunakan dalam buku-buku akidah,[21] khususnya yang beraliran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, dan lebih khusus lagi yang beraliran Asy’ariyah.
Apabila ditelaah lebih lanjut, dalam istilah kufr terkandung dua aspek penting yaitu, aspek teologis dan aspek sosiologis. Aspek teologis kufr adalah berupa pengingkaran adanya Tuhan dan Rasul-rasul-Nya berikut seluruh ajaran yang mereka bawa.  Jadi ditinjau dari segi teologis, kufr berarti tidak percaya  adanya Tuhan sebagai pencipta, pemelihara dan pengatur,[22] mendustakan Rasul-rasul dan ayat-ayat-Nya (wahyu),[23] dan menolak adanya hari kiamat atau hari pembalasan.[24]
Adapun aspek sosiologis kufr antara lain berupa sikap angkuh, sombong, takabbur dan menganggap dirinya sebagai superman.[25] Kalau dicermati lebih jauh ayat al-Qur’an yang menyebutkan sikap sombong dan sejenisnya sebagai sebuah bentuk ke-kufr-an dan diuji oleh Allah serta akan masuk neraka adalah didasarkan pada penilaian yang berlebihan pada kekuatan diri sendiri. Sikap semacam ini sama artinya dengan pemberontakan terhadap kekuasaan Tuhan yang maha tinggi. Sebagaimana Iblis yang tidak mau mengakui kelebihan Adam AS. Karena merasa lebih tinggi dan lebih terhormat,[26] Qarun yang menganggap kekayaan yang dimiliknya semata-mata atas dasar ilmunya sendiri,[27] begitu juga Fir’aun dengan kekuatan dan kekuasaannya yang besar hingga mengakui dirinya sebagai Tuhan.[28]
2.         Musyrik (Syirk)
Syirk artinya membuat atau menjadikan sesuatu, selain Allah, sebagai tambahan, objek pemujaan, atau tempat menggantungkan harapan dan  dambaan. Dalam al-Qur’an seringkali disebutkan bahwa orang-orang musyrik menyembah atau berdo’a terhadap sesuatu, selain Allah, yang tidak dapat memberi manfaat ataupun mendatangkan bahaya kepada mereka.[29]
Membuat sembahan-sembahan yang dijadikan sebagai sekutu atau tandingan bagi Tuhan adalah berarti menentang, sekaligus meremehkan kekuasaan, kebesaran, dan kesempurnaan-Nya. Jelasnya, perbuatan syirk langsuung menodai keagungan dan kesucian zat, sifat, dan perbuatan Tuhan.  Oleh karena itu, sangatlah wajar jika dosa syirk menempati posisi paling berat diantara semua dosa dan kejahatan yang dilakukan oleh anak cucu Adam. Dalam hal ini, al-Qur’an menegaskan bahwa Allah tidak akan mengampuni dosa syirk dan bahwa perbuatan syirk adalah perbuatan yang sangat besar.[30]
Hikmah dari tiadanya amupnan bagi dosa syirk, menurut Rasyid Rida dapat dilihat pada besarnya  dampak negatif yang ditimbulkannya.[31] Agama Islam diturunkan untuk mensuci-bersihkan jiwa dan meninggikan akal fikiran, sedangkan syirk berarti mengotorkan jiwa dan merendahkan akal manusia. Dari jiwa yang kotor dan akal yang rendah akan timbul bermacam-macam kejahatan dan perilaku tidak bermoral lainnya.
3.         Yahudi
Yahudi atau Judaism adalah nama suatu agama yang diturunkan Tuhan kepada Musa AS sebagai nabinya dan diajarkan kepada Bani Ira’il dengan Taurat sebagai kitab sucinya.[32]
Secara umum tanggapan al-Qur’an terhadap agama atau orang Yahudi  kadang positif dan kadang negatif. Tanggapan positif al-Qur’an tehadap agama Yahudi tercermin dari pernyataan al-Qur’an bahwa mereka akan mendapatkan keselamtan jika mereka benar-benar beriman kepada Tuhan yang maha Esa dan hari kiamat serta berbuat baik sesuai dengan iman mereka itu.[33] Sedang tanggapan negatif al-Qur’an terhadap mereka disebabkan mereka melanggar aturan-aturan agama mereka sendiri,[34] mengklaim sebagai orang yang paling baik dan benar (fanatisme yang berlebihan),[35] serta menganggap ‘Uzair sebagai anak Tuhan.[36]
4.      Nasrani
Dalam konteks Indonesia, istilah Nasrani mengacu pada nama agama yang dibawa oleh Isa AS atau Yesus,[37] yang biasanya diungkap dengan sebutan agama Nasrani.
Agama beserta para pemeluknya inilah yang juga menjadi salah satu sasaran jadal al-Qur’an. Sebagaimana agama Yahudi, agama nasrani ditanggapi al-Qur’an dalam bentuk yang positif dan negatif. Adapun tanggapan positif al-Qur’an terhadap agama atau pemeluk Nasrani tercermin dalam pernyataan al-Qur’an bahwa mereka akan mendapatkan keselamatan jika mereka benar-benar beriman kepada Tuhan dan hari kiamat serta berbuat baik  sesuai dengan iman mereka itu.[38]  Sedangkan tanggapan negatif al-Qur’an terhadap mereka karena mereka melanggar janji  Tuhan,[39] mengklaim sebagai orang yang paling baik dan benar,[40] serta menganggap Isa AS sebagai anak Tuhan.[41] 
Dua komunitas agama (Yahudi dan Nasrani) di atas sering di-khitab al-Qur’an sebagai ahl al-Kitab, yang memiliki persambungan akidah dengan kaum muslimin. Tuhan sendiri menegaskan bahwa al-Qur’an datang memberi pembenaran terehadap sebagian dari ajaran Taurat (kitab suci Yahudi) dan Injil (Kitab suci Nasrani) serta mengoreksi sebagain yang lainnya.[42] Akan tetapi, al-Qur’an tidak memberikan penegasan mengenai status ahl al-Kitab ditinjau dari segi akidah. Al-qur’an hanya mengatakan bahwa ada di antara ahl al-Kitab yang beriman dan sebagian besar dari mereka fasik.[43]
Para ulama juga sepakat mengenai hal tersebut. Yang mereka perselisihkan adalah komunitas agama-agama lain, seperti Majusi,  Hindu, Budha, al-Sabi’un dan sebagainya, apakah termasuk ahl al-Kitab atau bukan.  Ada sementara ulama yang memasukkan mereka ke dalam jajaran ahl al-Kitab, tetapi sebagiannya menolak
Dalam hal ini, Rasyid Rida menegaskan bahwa Majusi, al-Sabi’un, Hindu, Budha dan agama-agama lainnya dapat dikategorikan sebagai ahl al-Kitab.[44] Menurutnya, agama-agama tersebut pada mulanya berpaham monoteisme (tauhid) dan memiliki kitab suci. Akan tetapi karena perjalanan waktu yang begitu panjang agama-agama tersebut kerasukan paham-paham syirk atau paganisme.
Adapun tanggapan al-Qur’an terhadap ahl al-Kitab kadang positif dan kadang negatif. Sikap negatif al-Qur’an terhadap ahl al-Kitab dikarenakan mereka merubah atau mendustkan dan menyembunyikan sebagian isi kitab suci mereka terlalu berlebihan, hingga menolak atau mengingkari kebenaran yang ada di luar mereka. Mereka tergolong orang-orang kafir yang akan masuk neraka jahannam.[45] Sedangkan sikap positif al-Qur’an terhadap ahl al-Kitab tercermin dari penghargaan al-Qur’an yang tinggi terhadap mereka yang tetap konsekuen (istiqomah) terhadap ajaran agama dan kitab suci mereka. Mereka termasuk orang-orang yang saleh dan akan mendapatkan pahala di sisi Allah.[46]
 

D.    Respon al-Qur’an terhadap Pihak Lain

Berkaitan dengan pemahaman mengenai respon al-Qur’an terhadap pihak lain atau pemeluk agama/kepercayaan selain Islam ini menurut Farid Esack dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, pemahaman yang dilakukan oleh sarjana-sarjana Muslim tradisional-konservatif. Mereka mengambil apa yang hanya dapat digambarkan dengan kekuatan bahasa dan berusaha memahami semua teks al-Qur’an menjadi makna yang eksklusif. Kedua, pemahaman yang dilakukan oleh sarjana-sarjana liberal, mereka berpendapat bahwa tidak ada teks al-Qur’an yang mencela pihak lain.[47]
Bila dicermati lebih jauh, respon atau tanggapan al-Qur’an terhadap pihak lain atau pemeluk agama lain (selain Islam) dapat dibedakan ke dalam dua sikap, yaitu eksklusivisme dan inklusivisme.
Yang dimaksud dengan eksklusivisme adalah sikap yang menyatakan bahwa harga dirinya sajalah yang benar, sedang pihak lain salah. Sedangkan inklusivisme adalah sikap open-mindedness terhadap kebenaran yang dimiliki pihak lain sepanjang mempunyai keterkaitan dengan kebenarannya sendiri.
 Sikap eksklusive al-Qur’an terhadap pihak lain terjadi pada saat al-Qur’an melakukan tanggapan atau sanggahan terhadap orang kafir, musyrik, bahkan juga terhadap agama selain Islam. Di antara sikap ekklusivisme al-Qur’an terhadap pihak lain dapat berupa celaan, ancaman siksa dan sikap tidak bersahabat. Contoh kongkritnya antara lain, al-Qur’an mencela orang musyrik dan para penyembah berhala sebagai orang yang sesat dan lemah.[48] Contoh lain berupa ancaman al-Qur’an terhadap orang-orang kafir dengan siksa yang pedih baik di dunia ataupun di akherat.[49]
Sedangkan  sikap inklusive al-Qur’an terhadap pihak lain, terutama sekali ditujukan kepada agama atau pemeluk agama selain Islam. Dalam hal ini al-Qur’an tanpa ragu-ragu memmbenarkan keimanan agama lain, bahkan melarang umat Islam mengganggu, apalagi  memusuhi mereka.[50] Al-Qur’an juga melarang umat Islam memaksakan agama Islam kepada pemeluk agama lain.[51] Umat Islam diperintahkan untuk menjaga keharmonisan hubungan dan melakukan dialog/diskusi dengan orang yang beragama lain dengan cara yang baik.[52]
Untuk itu, kapan al-Qur’an bersikap eksklusive dan kapan bersikap inklusive merupakan persoalan yang sangat penting dan harus dipahami secara mendalam dan komprehensif. Sebab bersikap eksklusive dan inklusive dalam beragama dalam konteks yang salah akan menjadi preseden buruk bagi kelangsungan dan keharmnonisan kehidupan beragama. Padahal agama pada prinsipnya bertujuan untuk membawa manusia pada kebahagiaan yang hakiki.
Ditinjau dari segi subyeknya (pihak yang melakukan tanggapan atau sanggahan) Jadal al-Qur’an dapat dibedakan menjadi dua yaitu jadal langsung dan jadal tidak langsung.
Jadal langsung adalah jadal yang dilakukan oleh al-Qur’an sendiri, seperti tanggapan al-Qur’an terhadap Muhammad SAW yang telah mengharamkan apa yang sebenarnya dihalalkan oleh Allah SWT. Bantahan al-Qur’an tersebut langsung dilakukan oleh al-Qur’an sendiri dengan menegur Muhammad SAW agar jangan melakukan hal seperti itu lagi.[53] Oleh karena itulah Jadal al-Qur’an ini disebut dengan jadal langsung.
Sedangkan jadal tidak langsung adalah Jadal al-Qur’an yang menggunakan subyek-subyek tertentu dalam melakukan tanggapan atau sanggahan terhadap pihak-pihak yang berbeda pendapatnya dengan apa yang diajarkan al-Qur’an, seperti perselisihan antara Ibrahim AS dengan penguasa di masa itu (raja Namruz) tentang Tuhan. Dalam pembicaraan di antara mereka berdua ini, al-Qur’an secara tidak langsung hendak menjelaskan tentang Tuhan. Yaitu dengan menggunakan cerita tentang perdebatan antara Ibrahim AS dengan penguasa yang zalim/lalim ketika itu.[54] Oleh karena itulah perdebatan antara Ibrahim AS dengan penguasa yang lalim ketika itu disebut jadal tidak langsung.
Adapun jika ditinjau dari segi obyeknya (pihak-pihak yang dijadikan sasaran), Jadal al-Qur’an dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu jadal internal dan jadal eksternal.
 Jadal internal adalah Jadal al-Qur’an yang ditujukan kepada umat Islam sendiri. Jadal ini terjadi karena umat Islam sendiri sering menyalahi apa yang diajarkan oleh al-Qur’an. Oleh karena itulah al-Qur’an melakukan tanggapan untuk meluruskan kesalahan umat Islam tersebut seperti tanggapan al-Qur’an yang ditujukan kepada umat Islam yang mempersoalkan tentang harta rampasan perang, sehingga menimbulkan perpecahan di kalangan mereka. Kemudian memerintahkan kepada Nabi untuk menjelaskan bahwa harta rampasan perang adalah milik Allah SWT dan Rasulnya. Oleh karena itu mereka tidak perlu memperebutkannya, apalagi sampai menimbulkan perpecahan.[55]
Sedangkan jadal eksternal adalah Jadal al-Qur’an yang ditujukan kepada pihak lain atau pemeluk agama/kepecayaan selain Islam. Seperti tanggapan atau sanggahan al-Qur’an yang ditujukan kepada orang Yahudi dan Nasrani yang mengklaim diri mereka sebagai orang yang paling dikasihi oleh Tuhan. Kemudian al-Qur’an membantah klaim tersebut dengan mengatakan bahwa semua manusia sama di hadapan Tuhan. Tuhan akan mengampuni atau menyiksa siapa saja yang dikehendakinya dan segala yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaannya dan akan kembali kepadanya.[56]

E.     Metode Jadal al-Qur’an
Manna al-Qattan mengemukakan bahwa terdapat dua cara atau metode dalam Jadal al-Qur’an, yaitu:
1.      Dengan menyebutkan ayat-ayat kauniyah yang disertai perintah melakukan perhatian dan pemikiran untuk dijadikan dalil bagi penetapan dasar-dasar aqidah, seperti ketauhidan Allah dalam uluhiyah-Nya dan keimanan kepada para malaikat, kitab-kitab, rasulnya dan hari kemudian.
2.      Dengan cara membantah pendapat para penentang dan lawan serta mematahkan argumentasi mereka, baik dengan bentuk membungkam lawan bicara, mengambil dalil dengan mabda’ (asal kejadian) untuk menetapkan ma’ad (hari kebangkitan), membatalkan pendapat lawan dengan membuktikan kebalikannya, menghimpun dan memerinci atau dengan membungkam lawan dan mematahkan hujjahnya.[57]
Sebagai bahan komparasi, D.W. Hendrikus mengemukakan bahwa debat (jadal) yang merupakan bagian dari ilmu retorika pada hakikatnya adalah adu argumentasi antara pribadi atau antar kelompok manusia, dengan tujuan mencapai kemenangan untuk satu pihak. Dalam debat setiap pribadi atau kelompk berusaha menjatuhkan lawannya, supaya pihaknya pada posisi yang benar.[58]
Debat dimulai dengan meneliti pendapat dan posisi lawan bicara, setelah itu berkonsentrasi pada titik lemah argumentasi lawan. Setelah itu, terjadilah proses adu pikiran dan pendapat secara serius sampai lawan bicara mengakui kelemahan hujjahnya.[59]
Oleh karena itu, debat dalam konteks ini, memiliki karakter pembinaan yang tinggi. Sebab dengan debat orang akan terlatih untuk menyiapkan bahan diskusi secara teliti, berpikir rasional, tajam merumuskan pikiran secara teliti dan tepat dasar. Debat juga bisa dipakai latihan bagi peserta untuk berbicara singkat, padat dan mengesankan.[60]
Demikianlah beberapa metode yang dapat diterapkan dalam jadal atau berdiskusi agar dapat membuahkan hasil yang maksimal dan tetap pada kaidah-kaidah berpikir kreatif, logis, reseptif dan implementatif.








BAB III

KESIMPULAN

Dari berbagai uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Jadal al-Qur’an merupakan tanggapan/sanggahan al-Qur’an terhadap pihak-pihak yang berbeda pendapat dengan apa yang diajarkan oleh al-Qur’an, baik itu orang non-Muslim, orang yang ingkar ataupun orang Islam sendiri.
Dalam melakukan jadal ini al-Qur’an memberikan tuntunan agar dilakukan dengan cara yang baik. Dengan memperhatikan subyek dan obyeknya serta mempertimbangkan bagaimana sikap yang harus diambil ketika dihadapkan pada obyek dan konteks yang berbeda. Apakah bersikap eksklusif ataukah  inklusif. Sebab dua sikap inilah nampaknya yang sering dipraktekkan dalam Jadal al-Qur’an. Terutama ketika berhadapan dengan pihak lain yang menjadi sasaran utamanya, al-Qur’an adakalanya memberi tanggapan positif dan adakalanya memberi tanggapan negatif. Di sinilah relevansi antara jadal al-Qur’an dan pihak lain, khususnya terhadap agama atau pemeluk agama selain Islam, jadal al-Qur’an menampakkan aspek-aspek dialogis, yang selanjutnya dibangun beberapa paradigma dialog antar agama.


DAFTAR PUSTAKA

al-Alma’i, Zahir bin ‘Iwadh, Manahij al-jadal fi al-Qur’an al-Karim, t.t.p: t.p., t.t.
al-Asfahani, al-Raghib, Mu’jam Mufrada>t Alfa>zh al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
al-Baqi, Muhammad Fu’ad Abd, Mu’jam Mufahras lialfaz al-Qur’an al-karim, Bairut: Dar al-Fikr,1981.
Cawidu, Harfuddin , Konsep Kufr dalam al-Qur’an, Jakarta: PT. Bulan Bintang,1991.
Echols, John M. dan Hasan Shadily, Kamus Inggris – Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia, 1995.
Esack, Farid, Qur’an, Liberation and Pluralism, Oxford: Oneword, 1997.
Haikat, Muhammad Husain, at.al., Mu’jam Alfa>zh al-Qur’an al-Karim, Kairo: al-Hai’ah al-Misriyah al-Ammah li al-Ta’rif wa al-Nasyr, 1970.
Hendrikus, Dewi Wuwur, Retorika, Yogyakarta: Kanisius, 1991.
al-Khudrawi, Deep, Qamu>r al-Alfa>zh al-Isla>mi ‘Arabi – Inklizi, Beirut: al-Yamamah, 1995.
Ma’luf, Louis, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A'la>m, Beirut: Dar al-Masyriq, 1987.
Manzur, Ibn, Lisan al-Arab, Beirut: Dar al-Fikr, 1994.
Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Islam, 1997.
Panikar, Raimundo, Dialog Intra Religius, terj. Kelompok Studi Filsafat Driyarkara, Yogyakarta: Kanisius, 1992.
al-Qattan, Manna’ Khalil, Mabahis Fi Ulum al-Qur’an, Beirut: Syirkah al-Muttahidah li al-Tausi, 1973.
Rida, M. Rasyid, Tafsir al-Manar, Kairo: Dar al-Manar, 1973.
al-Suyuti, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
al-Syarqani, Hasan, al-Jadal fi al-Qur’an, Iskandariyah: al-Ma’arif, t.t.
Yusuf, Tayar, Ilmu Praktek Mengajar, Bandung: PT. Al-Ma’arif. 1985.
al-Zarqani, Muhammad Abdul Azim, Manahil al-Ifan fi Ulum al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.


[1] Manna’ Kholil al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an (Beirut: Syirkah al-Muttahidah li al-Tausi’, 1973), hlm. 298.
[2] Al-Suyuti, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), II, hlm.135.
[3] Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A'la>m (Beirut: Dar al-Masyriq, 1987), hlm. 82.
[4] Muhammad Husain Haikat, at.al., Mu’jam Alfa>zh al-Qur’an al-Karim (Kairo: al-Hai’ah al-Misriyah al-Ammah li al-Ta’rif wa al-Nasyr, 1970), I, hlm. 194.
[5] Al-Raghib al-Asfahani, Mu’jam Mufrada>t Alfa>zh al-Qur’an (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), hlm. 134.
[6] Ibn Manzur, Lisan al-Arab (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), Juz 11, hlm. 105.
[7] Deep al-Khudrawi, Qamu>s al-Alfa>zh al-Isla>mi ‘Arabi – Inklizi (Beirut: al-Yamamah, 1995), hlm. 66.
[8] John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris – Indonesia (Jakarta: PT. Gramedia, 1995), hlm. 37, 145, 186 dan 188.
[9] Zahir bin ‘Iwadh al-Alami, Manahij al-Jadal fi al-Qur’an al-Karim (t.t.p: t.p., t.t.), hlm. 20.
[10] Ibid., hlm. 21.
[11] Lihat QS. (2): 30-32.
[12] Lihat QS. (7): 12-18.
[13] Lihat QS. (18): 54 dan QS. (16): 111.
[14] Hasan al-Syarqani, al-Jadal fi al-Qur’an (Iskandariyah: al-Ma’arif, t.t.), hlm. 31.
[15] Ibid., hlm. 33.
[16] Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi, Mu’jam Mufahras lialfaz al-Qur’an al-karim (Bairut: Dar al-Fikr,1981), hlm. 20-21.
[17] QS. (6): 19.
[18] QS. (3): 153.
[19] QS. (4): 106.
[20] Harfuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam al-Qur’an (Jakarta: PT. Bulan Bintang,1991), hlm. 6.
[21] Ibid., hlm. 7.
[22] QS. (2): 28
[23] QS. (34):43
[24] QS. (6): 29-30
[25] QS. (2): 34, QS. (4): 173, QS. (16): 22-23, QS. (39): 59
[26] QS. (38):74-76.
[27] QS. (28):78.
[28] QS. (79):24.
[29] QS. (21):66, QS. (5):76, QS. (6):71 dan lain-lain.
[30] QS. (4):48, bandingkan dengan QS. (4):116
[31] Lihat M. Rasyid Rida, Tafsir al-Manar (Kairo: Dar al-Manar, 1373), V, hlm. 148-149.
[32] Burhanuddin Daja, Agama Yahudi (Yogyakarta: Bagus Arafah, 1982), hlm. 56.
[33] QS. (2):62 dan QS. (6):69.
[34] QS. (4):154-155
[35] QS. (5):18.
[36] QS. (9):30.
[37] M. Arifin, Menguak Misteri Agama-agama Besar, (Jakarta: PT. Golden Terayon Pers, 1997), hlm. 133.
[38] QS. (2):62 dan QS. (6): 69.
[39] QS. (5):14.
[40] QS. (5):18
[41] QS. (9):30.
[42] QS. (3):81., QS. (4):47, QS. (5):48 dan QS. (6):92.
[43] QS. (3):110.
[44] M. Rasyid Rida, Tafsir …, VI, hlm. 187-8
[45] QS. (3):71, QS. (4):171, dan QS. (5):77.
[46] QS. (3):113-115 dan 199.
[47] Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism (Oxford: Oneword, 1997), hlm. 147.
[48] Lihat QS. (4): 116. dan QS. (22): 73.
[49] Lihat QS. (9): 74.
[50] Lihat QS. (6): 52.
[51] Lihat QS. (2): 156. dan QS. (10): 99.
[52] Lihat QS. (29): 46. dan QS. (60): 8-9.
[53] Lihat QS. (66): 1.
[54] Lihat QS. (2): 258.
[55] Lihat QS. (8): 1.
[56] Lihat QS. (5): 18.
[57] Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahis…., hlm. 303.
[58] Dewi Wuwur Hendrikus, Retorika (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 120.
[59] Ibid.
[60] Ibid., hlm. 128.

Kamis, 24 Mei 2012

HADITS TENTANG IBADAH


BAB I
PENDAHULUAN
Sebagai manusia yang diciptakan oleh Allah dan hidup dimuka bumi ini mempunyai banyak tugas dan kewajiban yang harus dikerjakan. Tetapi diantara tugas-tugas dan kewajiban-kewajiban yang pokok yang harus dikerjakan, tidak dapat di tinggalkan dan tidak dapat diwakilkan adalah ibadah kepada Allah. Kita supaya memahami bahwa adanya Allah mewajibkan manusia dan jin untuk beribadah kepada Allah adalah sebab ketika di alam ruh Allah telah menawarkan amanah agama kepada semua hambaNya yang telah diciptakan pada waktu itu. Dan manusialah yang sanggup melaksanakan amanah agama tersebut.
Dan yang perlu dipahami lagi adalah bagaimana cara kita untuk melaksanakan ibadah. Sebab tidak semua ibadah diterima oleh Allah dan tidak semua perbuatan baik menurut manusia dibalas surga. Setelah Allah menetapkan kewajiban ibadah ini kepada jin dan manusia, Allah tidak membiarkan begitu saja bagaimana hambanNya melaksanakan ibadah. Tetapi Allah mempunyai peraturan-peraturan, petunjuk-petunjuk, praktek-praktek ibadah yang harus ditaati dengan menurunkan utusan kepada setiap umat.














BAB II
PEMBAHASAN

HADITS TENTANG IBADAH

Kalau kita mencari hadits tentang ibadah, tentunya banyak sekali yang dapat kita temukan. Salah satunya adalah;

خذوا من العبادة ما تطيقون. واياكم ان يتعوّد احدكم عبادة فيرجع عنها. (الديلمي)
Artinya:
Laksanakan ibadah sesuai kemampuanmu. Jangan membiasakan ibadah lalu meninggalkannya (HR. Addailami)
Maksud hadits diatas ialah ibadah selain yang fardhu.

إن الله تعالى كتب الحسنات والسيّئات, ثم بين ذلك, فمن همّ بحسنة فلم يعملها كتبها الله عنده حسنة كاملة, وإن همّ بها فعملها كتبها الله تعالى عنده عشر حسنات الى سبعمائة ضعف الى أضعاف كثيرة, وإن همّ بسيّئة فلم يعملها كتبها الله عنده حسنة كاملة, وإن همّ بها فعملها كتبها الله عنده سيّئة واحدة
Artinya:
Sesungguhnya Allah mencatat (menetapkan) kebaikandan keburukan, kemudian ia menjelaskan hal tersebut. Barang siapa yang berkehendak dengan kebaikan namun ia tidak melakukannya, Allah mencatat bbaginya satu kebaikan yang sempurna. Dan jika ia berkehendak dengan kebaikan lalu ia melakukannya, Allah mencatat baginya sepuluh hingga tujuh ratus kebaikan bahkan sampai berlipat ganda. Jika ia berkehendak dengan kejelekan namun tidak malakukannya Allah mencatat baginya satu kebaikan yang sempurna. Dan jika ia berkehendak dengan kejelekan lalu melakukannya, Allah mencatat baginya satu kejelekan.
Dari hadits diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa allah akan mencatat apa yang kita kerjakan pasti akan di catat amal perbuatannya. Bedanya disini, niat baik akan dicatat meski kiti belum melakukannya. Sebaliknya, allah tidak langsung mencatat niat jelek kita hingga kita malakukannya. Melakukan perbuatan baik, hasilnya akan menjadi perkalian imbalan. Doing evil acts - this will be recorded as one sin for one sin.Melakukan tindakan jahat ini akan dicatat sebagai satu dosa untuk satu dosa.
Tujuan dari melakukan perbuatan baik ini akan disimpan bahkan jika tidak dilakukan sebagai salah satu perbuatan. 'Intention' here means that we have a great eagerness and a very strong determination to do a certain deed - and not merely thoughts of doing it. 'Tujuan' di sini berarti bahwa kita memiliki semangat besar dan tekad yang sangat kuat untuk melakukan perbuatan tertentu dan bukan hanya pikiran melakukannya
1.      Hadits Tentang Niat
a.         Definisi Niat
“Niat” menurut Dr. Husain al-’Affany adalah “al Qoshdu wa al ‘Azmu” yaitu ”tujuan dan keinginan.” Terminologi yang lebih khusus lagi, yang berarti “Qoshdul Ma’buud” (Tujuan pada dzat yang disembah yaitu Allah SWT) dengan mengambil esensi dari hadits “innamal a’maalu biniyyaat.
Kata “niat” dalam perkataan ulama’ mengandung dua makna utama: pertama, tamyiizul ‘ibaadaat ba’dhuhaa ‘an ba’dhin; yakni membedakan jenis ibadah, antara satu jenis ibadah dengan ibadah lainnya. Misalnya, membedakan antara sholat dzuhur dari sholat ashar, antara puasa ramadhan dan puasa-puasa yang lain, membedakan ibadat dengan hal yang sekedar adat (kebiasaan), membedakan jenis mandi janabat dengan mandi biasa. Niat-niat inilah yang banyak dijumpai pada perkataan ahli fiqih (fuqaha) dalam buku-buku fiqihnya.
Di handout di definisikan Niat adalah menyengaja untuk melakukan sesuatu disertai (berbarengan) dengan perbuataanya.
Disepakati bahwa niat di dalam hati dan dilakukan pada permulaan melakukan perbuatan untuk malakukan kenaikan, tentu bukan hal yang dilarang oleh syariat islam.

إنما الأعمال بالنية وانما لكل امرئ ما نوى. فمن كانت هجرته الى الله ورسوله فهجرته الى الله ورسوله ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها او امرأة ينكحها فهجرته الى ما هاجر اليه. (متفق عليه)
Artinya:
Perbuatan-perbuatan itu hanyalah dengan niat dan bagi setiap orang hanyalah menurut apa yang diniatkan. Karena itu barang siapa yang hijrahnya itu kepada kerelaan allah dan rasulnya dan barang siapa yang hijrahnya untuk memperoleh keduniaan atau wanita yang bakal di kawininya, maka hijrahnya itu ialah kepada apa yang telah dihijrahi (Muttafaqun Alaihi)
Dari hadits di atas dapat di  ambil kesimpulan:
Ø  Tidak akan pernah ada amal perbuatan kecuali disertai dengan niat.
Ø   Amal perbuatan tergantung niatnya.
Ø  Pahala seseorang yang mengerjakan suatu amal perbuatan sesuai dengan niatnya.
Ø  Seseorang akan mendapatkan pahala kebaikan, atau dosa, atau terjerumus dalam perbuatan haram dikarenakan niatnya.
Ø  Suatu amal perbuatan tergantung wasilahnya. Maka sesuatu yang mubah dapat menjadi suatu bentuk ketaatan dikarenakan niat seseorang ketika mengerjakannya adalah untuk memperoleh kebaikan.
Ø  Suatu amal perbuatan dapat menjadi kebaikan yang berpahala bagi seseorang, namun dapat pula menjadi dosa yang diharamkan bagi seseorang yang lain, adalah sesuai dengan niatnya.
اَلنِّيَةُ شَرْطٌ لِسَائِرِ الْعَمَلِ فِيْهَا الصَّلاَحُ وَالْفَسَادُ لِلْعَمَلِ
Artinya:
Niat adalah syarat bagi seluruh amalan, pada niatlah benar atau rusaknya amalan.
Menurut hadits ini Suatu amal perbuatan dapat menjadi kebaikan yang berpahala bagi seseorang, namun dapat pula menjadi dosa yang diharamkan bagi seseorang yang lain, adalah sesuai dengan niatnya.
b.         Fungsi Niat
Agama Islam mensyariatkan niat membedakan amal perbuatan yang semata-mata berdasarkan adat kebiasaan dengan amal perbuatan ibadat, dan untuk membedakan martabat dan ketentuan ibadat satu sama lain.
Niat terbagi menjadi 2 macam
1)      Niat untuk ibadah
Niat untuk ibadah memiliki dua kemungkinan pengertian
Ø  Tak ada perbuatan yang disertai niat. Semau perbuatan pasti disertai niat atau maksud dari hati. Kalau seseorang mendengar adzan maghrib, kemudian ia berangkat ke mesjid dan melakukan shalat dapat dipastikan ia shalat maghrib. Tanpa niat pun perbuatan itu tetap sah.
Ø  Niat diperlukan dalam ibadah kaeerna beberapa fungsi. Pertama untuk membadakan perbuatuan tersebut ibadah atau bukan, kedua untuk membedakan apakah ibadahnya wajib atau sunnah.
2)      Niat untuk ma’bud
Niat untuk ma’bud adalah keikhlasan melakukan ibadah hanya untuk Allah., bukan yang lain. Oleh karena itu keikhlasan ibadah harus dijaga agar tidak rusak. Keikhlasan bisa rusak pada sebelum perbuatan karena memang niatnya sejak awal sudah salah., pertengahan perbuatan karena perubahan konndisi, bahkan setelah perbuatan kaerna mengungkit-ngungkit kembali.
Bagaimana kalau seseorang beramal dengan niat untuk Allah dan untuk niat yang lain, misalnya ingin masuk syurga, takut neraka dan seterusnya?
Dari keikhlasan inilah akan meklahirkan buah dari ibadah, yang biasanya di sebut Al-akhlaq al-karimah. Dan dengan akhlaq ini, seseorang akan menapaki jenjang-jenjang yang lebih tinggi dalam menempuh [perjalabnan menuju Allah.


c.         Klasifikasi Niat
Apabila niat itu telah sipautkan dengan para subjek yang melakukan perbuatan, ia mempunyai bentuk yang berbeda-beda menurut tujuan pribadi masing-masing subyek, sebagai beriktut:
Ø  Niat awwam, yaitu niat yang biasanya terdapat pada kebanyakan orang, yang hanya ditunjakan pada tercapainya apa yan gmenjadi idamannya saja dengan melalaikan beberapa keutamaan yang telah ada sebagai pelengkapnya.
Ø  Niat juhhal, niat seseorang yang hanya didorong  oleh motif mempertahankan diri dan menghindarkan mala petaka.
Ø  Niat ahlinnifaq, niat mengerjakan suatu perbuatan yang ditunjakan untuk memperoleh pujian, baik dari sisi tuhan maupun manusia.
Ø  Niat ulama, yaitu niat yang ditunjakan untuk membina ketaatan dan memupuk ketaqwaan kepada Allah bukan kepada lainnya.
Ø  Niat ahli tasawuf, yaitu niat untuk meninggalkan dari tempat mengantungkan diri menuju kepada ketaatan-ketaatan yang lahir dari mereka sendiri.
Ø  Niat ahli hakekat, yaitu niat untuk mempertuhankan maha pencipta agar melahirkan ubudiyah(penghambaan diri) kepadanya.

2.      Hadits Tentang Keharusan Mengikuti Petunjuk Nabi

مانهيتكم عنه فاجتنبوه, وما امرتكم به فأتوا منه ما استطعتم, فإنّما اهلك الذين من قبلكم كثرة مسائلهم واختلافهم على امبيائهم
Artinya:
Apa yang aku larang kepadamu jauhilah, dan apa yang aku perintahkan kepadamu dengannya, maka kerjaknlah semampumu. Sesungguhnya kerusakan orang-orang sebelum kamu akibat banyaknya problem dan penentangn terhadap nabi merka
Semua orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian wajib menyadari bahwa landasan utama agama Islam yang agung ini adalah dua kalimat syahadat
 لا إله إلا الله و محمد رسول الله  yang ini berarti bahwa seseorang tidak akan bisa berislam dengan benar, bahkan tidak akan bisa mencapai kedudukan taqwa yang sebenarnya disisi Allah, kecuali setelah dia berusaha memahami dan mengamalkan kandungan dua kalimat syahadat ini dengan baik dan benar.
Para ulama Ahlus sunnah wal jama’ah menjelaskan bahwa makna لا إله إلا الله adalah tidak ada sembahan yang benar kecuali Allah, artinya tidak ada yang berhak untuk kita serahkan padanya segala bentuk ibadah, yang lahir maupun yang batin, kecuali Allah semata-mata. Dan syahadat ini mengandung dua konsekwensi
Semua amal ibadah memiliki dua sisi, yakni sisi batin dan sisi lahir. Pada sisi batin amal ibadah harus disertai niat agar ibadahnya sah dan diterima oleh allah. Sebagaimana diuraikan pada hadits  sisi lahir, tata cara ibadah itu harus mengikuti petunjuk dari Nabi, sebagaimana diisyaratkan hadits di atas. Kalau ibadah itu dilakukan bukan berdasar pada petunjuk nabi maka disebut sebagai bid’ah.
Nabi bersabda:
من احدث في امرنا هذا ما ليس منه فهو ردّ
Artinya:
Siapa yang mengada-ngadakan dalam agamaku islam ini perkara-perkara baru yang bukan termsuk urusan agama, adalah tetolak.
كل أمتي يدخلون الجنة إلا من ابى قالوا ومن يأبى قال من اطاعني دخل الجنة ومن عصاني فقد ابى
Artinya:
Sesungguhnya umatku akan masuk syurga kecuali yang enggan (lemah), mereka bertanya siapakah yang enggan? Beliau menjawa siapapun yang mengikutiku ia pasti masuk syurga dan siapa yang menentang ku ia sungguh telah enggan (menulak masuk syurga)
A.      Definisi Bid’ah
Menurut bahasa suatu ciptaan baru yang tidak mempunyai persamaan dengan ciptaan yang lebih dahulu telah ada.
Menurut syara’, diterpkam kepada hal-hal baru sebagai penambah peraturan syara’ yang telah ada. Dengan demikian, segala ciptaan baru yang mirip dengan peratura-peraturan agama, tetapi karena tidak dikehendaki untuk diibadahkan bukan bid’ah.
Dalam buku lain bid’ah di definisikan sebagai berikut;
1)        Bid’ah adalah sesuatu yang baru setelah Rasul tiada. Sessuatu itu bisa juga terpuji dan bisa juga tercela, sehingga ada bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah.
2)        Bid’ah adalah sesuatu yang bertentangan dengan sunnah atau tidak diperintahkan oleh sunnah.

B.       Klasifikasi Bid’ah
Disamping definisi di atas, terdapat pula suatu definisi yang lebih umum sifatnya yang tidak mengeluarkan adat dari pengertian bid’ah. Menurut definisi ini, bid’ah ialah ciptaan-ciptaan baru setelah zaman nabi, baik ciptaan itu membawa kebaikan maupun kejelakan, baik ciptaan itu berkisar pada lapangan peribadatan maupun kebiasaan. Pengertian yang terkandung dari definisi di atas menunjukan adanya klasifikasi bid’ah kepada bid’ah wajibah, mandubah, mubahah, muharramam dan makruhah.
1)        Bid’ah wajibah, ialah ciptaan-ciptaan atau usaha-usaha baru yang sangat diperlukan adanya dan sebagai sarana untuk menyempurnakan pelaksanaan kewajiban.
2)        Bid’ah mandubah, ialah usaha atau ciptaan baru yang mempunyai nilai sunnah
3)        Bid’ah mubahah, ialah usaha atau ciptaan baru yang berkisar pada hal yang mubah.
4)        Bid’ah muharramah, ialah suatu bid’ah yang termasuk dalam hal-hal yang diharamkan oleh syara’.
5)        Bid’ah makruhah, ialah suatu bid’ah yang termasuk dalam hal-hal yang di makruhkan.



C.       Pembagian Bid'ah
Bid'ah dibagi oleh para ulama dengan pembagian yang bervariasi menurut sudut pandang masing-masing. Diantara sekian banayak pembagian yang diberikan para ulama adalah:
1)      Bid'ah haqiqiyyah; adalah suatu bid'ah yang tak ada dalilnya darisyariat, baik dari Al-Qur'an, As-Sunnah, ijma' qiyas dan tidak puladari keterangan yang mu'tabar di kalangan ulama baik secara globalapalagi terperinci, sepeerti menghalalkan hal-hal yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, seperti berzina, minum khamr, riba dan lain-lain.
2)       bid'ah idlafiyyah adalah bid'ah yang dilihat dari satu sisi ada asalnya dalam syariat, tetapi dari sisi lain (tata caranya) tak ada sama sekali dalam syariat.

Lebih lanjut pembahasan tentang ibadah yang berkenaan dengan penetapan hukum-hukumnya syarat-syarat dan rukunnya, tata cara pelaksanaannya dan ketentuan waktu-waktunya. Diperlukan ilmu-ilmu lain seperti, fiqih dan ushul fiqih, serta ilmu falaq. Dengan demikian dapat diperoleh pemahaman yang lebih baik tentang kandungan hadits tersebut diatas.

D.      Hukum bid’ah
Dalam hadits Aisyah ra tersebut nabi Muhammad menjelaskan bawa sesuatu ciptaan yang baru dalam agama yang tidak mempunyai sumber sama sekali dari agama ditolak, yakna haram hukumnya. Adapun kalau ciptaan baru itupun masih mempunyai dassar atau dikuatkan oleh aqidah syara’ tidak otomatis ditolak.
Tidak dapat diragukan lagi bahwa ciptan baru yang belum pernah timbul di zaman nabi dan khulafaurrasidin ada yang harus kita terima, karena tidak ada dasar yang melarangnya dan ada pula yang harus kita tolak, karena bertentang  dengan aqidah syara’. Tidak semua hal yang baru itu ditolak karena dianggap bid’ah.




BAB III
KESIMPULAN

Dalam beberapa hadits yang telah diketahui bahwa apa-apa yang ingin dilakukan oleh kita tergantung pada niat. Jika berniat naik, maka Allah akan mencatat perbuatan kita pada kebaikan. Apabila berniat jelek, Allah tidak langsung mencatat perbuatan itu jelek.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memeritahkan kepada umatnya untuk beribadah sesuai apa yang telah beliau ajarkan. Setelah nabi meninggal, banyak hal-hal yang terjadi dan belum pernah terjadi sebelum Nabi masih hidup. Hal ini banyak yang dianggap bahwa yang belum dilakukan Nabi adalah bid’ah dan haram.
Tetapi pengharaman tersebut tergantung pada bentuk bid’ahnya, ada diantara yg menyebabkan kafir (kekufuran). Ada juga bid’ah yang merupakan  sarana menuju kesyirikan. Ada juga bid’ah yang merupakan  fasiq secara aqidah sebagaimana hal bid’ah Khawarij, Qadariyah dan Murji’ah dalam perkataan-perkataan mereka dan keyakinan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan ada juga bid’ah yang merupakan  maksiat seperti bid’ah orang yang beribadah yang keluar dari batas-batas sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.












DAFTAR PUSTAKA

Nur, Qudirun, Silsilah Hadits Shahih, solo: Pustaka Mantiq, 1997
Husnan, Achmad, Tajrij Hadits Riwayat Bukhori, Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar, 1997.
Faiz achmad, Muhammad, Seribu Setratus Hadits Terpilih, Jakarta: Gema Insani Press, 1991.
Fatchurrahman, al-Haditsun Nabawi, Kudus: Menara.


.