Kata
Pengantar
Al-qur’an adalah mu’jizat Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw sebagai nabi terakhir. al-Qur’an adalah kitabullah yang akan selalu dijaga keasliannya dari allah sesuai dengan firmannya;
إنا نحن
نزلنا الذكر وإنا له لحافظون
Artinya
Sesunguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami
benar-benar meliharanya.
Ayat ini
jaminan tentang kesucian dan kemurnian al-Qur’an selama-lamanya.
Al-Qur’an
diturunkan secara bertahap sehingga benar-benar tidak perlu dipertanyakan lagi
kenukjizatannya. Tahapannya yang pertama ditempatkan ke al-lauh al-mahfudz,
yang kedua diturunkan dari al-Lauh al-Mahfudz ke Baitul al-Izzah. dan
yang ketiga adalah dari Baitul al-Izzah klangsung kepada nabi
Muhammad.
Dari
beberapa tahap ini, terlihat jelas betapa sucinya al-Qur’an. Seiring dengan perkembangan zaman, banyak
orang-orang yang meneliti tentang kebenaran al-Qur’an. Bahkan orang-orang non
islampun berlomba-lomba unntuk meneliti tentang kebenaran al-Qur’an.
Pada
makalah bagian ini, kami mencoba membahas sedikit tentang Jadal al-Qur’an
(perdebatan al-Qur’an).
BAB
I
PENDAHULUAN
Keangkuhan
dan kesombongan seringkali mendorong seseorang untuk membangkitkan keraguan dan
mengacaukan hakikat-hakikat kebenaran dengan berbagai kerancuan yang dibungkus
baju kebebasan dan dihiasi dengan cermin rasionalitas. Yang demikian itu perlu
dihadapi dengan kemampuan argumentasi yang kuat untuk dapat membuktikan
hakikat-hakikat kebenaran tersebut. Al-Qur’an, seruan Allah, kepada seluruh
umat manusia, berdiri tegak dihadapan berbagai macam arus yang mengupayakan
kebatilan untuk mengingkari hakikat-hakikatnya dan memperdebatkan
pokok-pokoknya. Untuk itu, ia perlu berdialog dan membungkam intrik-intrik
mereka secara kongkrit dan realistis, serta menghadapi mereka dengan uslub
bahasa yang memuaskan, argumentasi yang pasti dan bantahan yang tegar.[1] Yang
demikian itu dalam kajian ulum al-Qur’an lebih dikenal dengan istilah jadal
al-Qur’an.[2]
Kalau diperhatikan cara
berdialog atau jadal yang dilakukan al-Qur’an, dapat diperoleh gambaran
bahwa dalam mengemukakan suatu pernyataan ia selalu memberikan bukti yang kuat
sehingga sulit untuk dibantah oleh siapapun. Hal ini cocok dengan fitrah
manusia, sehingga dengan demikian al-Qur’an dapat dipahami oleh semua lapisan
masyarakat dari generasi ke generasi. Dengan cara bedebat seperti itu, maka secara obyektif semua orang
akan menerima dan meyakini kebenaran al-Qur’an.
Untuk mengetahui lebih
jauh tentang apa yang dimaksud dengan Jadal al-Qur’an, dan bagaimana al-Qur’an
berdialog dengan pihak-pihak lain yang menjadi sasaran utamanya, serta dimana
relevansinya dengan jadal al-Qur’an itu sendiri, akan dibahas dalam makalah
ini.
BAB II
JADAL AL-QUR’A<N
(Sebuah Kritisisme Teks atas Objek)
A. Pengertian Jadal al-Qur’an
Secara
bahasa, kata jadal adalah bentuk masdar dari ja-da-la yaj-du-lu
atau yaj-di-lu, artinya kokoh; atau dari ja-di-la yaj-da-lu,
artinya menantang atau membantah dengan keras. Sedangkan kata jida>l atau muja>dalah adalah isim
masdar dari ja>-da-la
yu-ja>-di-lu,
artinya saling berselisih atau bertentangan.[3] Dari
pengertian ini, jelaslah bahwa kata jadal dan jida>l atau muja>dalah meskipun
secara strukturnya berbeda, namun pada hakikatnya memiliki pengertian dan akar
kata yang sama. Oleh karena itulah dalam wacana Ulum al-Qur’an, kedua
istilah tersebut digunakan dengan maksud dan pengertian yang sama. Untuk
selanjutnya, dalam makalah ini, istilah yang digunakan adalah Jadal al-Qur’an.
Dalam
Mu’ja>m Alfa>zh al-Qur’>an al-Kari>m, jadal
diartikan dengan perbedaan pendapat yang mengandung permusuhan atau
perselisihan yang sengit.[4]
Al-Raghib al-Asfahani dalam karyanya, Mu’jam Mufrada>t Alfa>zh al-Qur’an,
mengartikan jadal, dengan berunding atau berdiskusi atau berdialog
karena adanya perselisihan atau perbedaan.[5] Ibn Manzur dalam karyanya, Lisan
al-Arab, mengartikan jadal dengan saling mengemukakan alasan.[6] Dalam bahasa Inggris, jadal
diterjemahkan dengan argument, dispute, controversy, dan discussion,[7] yang kesemuanya mengandung pengertian
perselisihan atau perbedaan pendapat.[8]
Secara istilah, jadal menurut
al-Jurjani adalah sebuah ungkapan yang menunjukkan adanya suatu perbedaan yang
diikuti dengan penampakan dan penetapan pendapat. Ibn Sina menyatakan bahwa muja>dalah (sinonim dari jadal) adalah terjadinya pertentangan
yang dilakukan dengan cara yang baik dan terpuji di kalangan para ahli.
Pengarang buku Misbah al-Munir mendefinisikan jadal dengan saling
mengemukakan pendapat untuk mencari yang lebih baik. Abu al-Baqa’ mengatakan
bahwa jadal adalah sebuah istilah yang menunjukkan adanya tanggapan
seseorang disertai argumentasi atau yang sejenisnya terhadap orang lain yang
menentangnya secara salah, yang selalu diwarnai dengan perselisihan.[9]
Adapun al-Qur’an adalah kitab suci agama
Islam yang terdiri dari 30 juz, 114 surat dan 6616 ayat.
Dari beberapa pengertian di atas,
al-Alma’i mencoba mendefinisikan jadal al-Qur’an secara lebih
komprehensif, yaitu argumentasi yang dikemukakan al-Qur’an yang berisi petunjuk
bagi orang-orang yang menentangnya. Dengan maksud dan tujuan agar semua yang
diajarkan oleh al-Qur’an dapat melekat dan tertanam di dalam hati manusia.[10] Dengan ungkapan yang lebih umum dan
komprehensif dapat pula dikatakan bahwa Jadal al-Qur’an merupakan
tanggapan atau sanggahan al-Qur’an yang ditujukan kepada pihak-pihak yang
berbeda pendapatnya dengan apa yang diajarkan oleh al-Qur’an agar ajaran-ajaran
al-Qur’an tersebut dapat dipahami oleh umat manusia.
B. Sekilas Tentang Sejarah dan Perkembangan Jadal al-Qur’an
Secara umum jadal dalam
arti pertentangan atau perselisihan atau perbedaan pendapat muncul bersamaan
dengan adanya manusia di muka bumi ini, bahkan menurut perspektif al-Qur’an, jadal
sudah ada jauh sebelum manusia pertama, Adam AS. diciptakan dan dilempar ke
dunia yaitu jadal yang dilakukan oleh malaikat ketika Allah SWT menyatakan
untuk menciptakan “khalifah” di muka bumi,[11] dan jadal yang dilakukan Iblis
ketika diperintah oleh Allah SWT untuk bersujud kepada Adam AS.[12] Ini berarti bahwa jadal merupakan
sifat dasar dan sekaligus sebagai dinamika dalam kehidupan umat manusia, bahkan
pada hari kiamat nanti.[13]
Sedangkan jadal sebagai
sebuah ilmu yang dipelajari dan diterapkan, bersumber pada filsafat Yunani.
Menurut al-Syarqani, jadal sebagai sebuah ilmu (ilmu jadal)
diawali oleh paham dialektika yang dicetuskan oleh Heraklitos, kemudian
dikembangkan oleh Sokrates, Plato dan Aristoteles dengan nama ilmu logika.
Pemikiran para filsof Yunani ini kemudian mempengaruhi pemikiran serta
memberikan inspirasi bagi umat Islam untuk menyusun ilmu jadal yang lebih sesuai
dengan ajaran Islam.[14]
Adapun hal-hal yang menyebabkan
berkembangnya masalah jadal di kalangan umat Islam adalah sebagai
berikut:
1) Meluasnya wilayah Islam dan masuknya para
pemeluk agama lain ke dalam negara Islam yang kemudian terjadi penyusupan dan
pencampuran hukum-hukum mereka kepada umat Islam dan ini tentu saja menimbulkan
perdebatan.
2) Adanya
pemeluk agama lain yang memeluk agama Islam. Di antara mereka ini ada yang
mencampur ajaran-ajaran sebelumnya dengan ajaran-ajaran Islam karena
ketidaktahuan mereka. Di samping itu ada pula yang memang sengaja menyusup ke
dalam Islam hanya untuk menyebarkan fitnah dan kekacauan. Ini tentu saja
memaksa umat Islam untuk membantahnya.
3) Adanya
sebagian teks-teks al-Qur’an dan sunnah Nabi yang nampak berbeda dengan apa
yang telah dikenal dan disepakati di kalangan para sahabat sehingga perlu
dita’wil dan ditafsir. Keadaan ini sering menimbulkan perbedaan pendapat di
kalangan umat Islam, sehingga disalahgunakan oleh orang-orang yang berniat
tidak baik untuk memecah belah umat Islam. Hal ini mengharuskan umat Islam untuk mendiskusikannya agar umat Islam
terhindar dari permusuhan dan perpecahan.
4) Munculnya kecenderungan penggunaan
akal-pikiran sebagai trend dalam pembahasan berbagai masalah, karena dorongan
kondisi sosial politik yang sudah aman dan tenteram.
5) Berkembangnya lembaga-lembaga hukum di
kota-kota Islam dalam menyelesaikan berbagai perkara yang menimpa msayarakat
ditambah lagi adanya keinginan yang besar dari masyarakat untuk mengetahui
hikmah agama, kemudian mereka mendatangi lembaga-lembaga tersebut dan
mendengarkan serta menanggapi apa yang dikatakan para hakim. Sehingga
muncullah kebiasaan untuk berdiskusi atau berdialog.
6) Adanya
serangan dan tuduhan dari orang-orang Yahudi, Nasrani, Atheis dan lain-lain terhadap
Islam sebagai agama yang penuh dengan keraguan dan ketidakjelasan, sehingga
dianggap tidak layak sebagai sebuah agama. Lalu mereka menyebarkan tipu daya dan menentang umat Islam di segala
tempat. Ini memaksa para tokoh Islam melakukan pembelaan untuk melemahkan dan
menghancurkan pendapat dan keyakinan mereka.
7) Pembahasan tentang tema-tema yang sulit
dipahami. Seperti tentang hal-hal ghaib, senantiasa menjadi medan bagi para
pembahas yang masing-masing merasa paling benar. Metode taqlid tidak akan mampu
sampai pada hakikat persioalan, lalu dikembangkanlah metode diskusi yang dirasa
akan lebih baik akibatnya.[15]
Dari uraian di atas jelaslah bahwa
berkembangnya ilmu jadal di kalangan umat Islam karena adanya perbedaan
pendapat atau perselisihan di antara mereka sendiri. Lebih-lebih dengan
pemeluk agama lain.
C.
Jadal al-Qur’an dan Pihak Lain
Dalam
al-Quran istilah pihak lain atau orang lain diungkapkan dengan kata akhar,
akharun, ukhra atau ukhar. Kata akhar dan bentuk-bentuknya yang lain digunakan al-Qur’an sebanyak
70 kali.[16]
Adapun penggunaannya antara lain berkisar untuk mengungkapkan tentang
Tuhan selain Allah,[17] tentang suatu kelompok, golongan atau
bangsa selain kelompok, golongan atau bangsa tertentu,[18] tentang agama atau pemeluk agama selain
Islam,[19] dan lain-lain.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan
bahwa pihak lain adalah sesuatu yang bukan (diluar) diri atau kelompok atau
golongan tertentu, baik posisinya sebagai orang kedua (kamu/kalian), atau
sebagai orang ketiga (dia/mereka), dimana antara diri, kelompok atau golongan
tertentu tersebut terjadi suatu hubungan atau interaksi untuk saling
mengenal satu dengan yang lainnya karena
adanya perasaan berbeda.
Permasalahannya , apa atau siapa yang
disebut sebagai pihak lain dalam al-Qur’an, dan dimana relevansinya dengan jadal
al-Qur’an?
Jawaban pertanyaan ini tentu saja terkait
erat dengan status al- Qur’an sebagai kitab suci bagi agama Islam. Jadi yang
dimaksud dengan pihak lain dalam al-Qur’an dalam konteks ini tentunya mengacu
kepada agama atau keagamaan selain Islam atau orang-orang non-Muslim, seperti:
Kafir, Musyrik, dan para pemeluk agama selain Islam seperti: Yahudi, Nasrani,
Majusi dan sebagainya.
Pihak-pihak
lain inilah yang menjadi salah satu obyek atau sasaran jadal al-Qur’an.
Di sinilah relevansi antara jadal al-Qur’an dan pihak lain, khususnya
terhadap agama atau pemeluk agama selain Islam, jadal al-Qur’an
menampakkan aspek-aspek dialogis, yang selanjutnya dibangun beberapa paradigma
dialog antar agama.
1.
Kafir (kufr)
Kafir (kufr) pada dasarnya merupakan antitesis dari Iman, Sedangkan iman
adalah bagian dari ajarna Islam yang penting dan fundamental.[20]
Para ulama’ berbeda pendapat dalam
menetapkan batasan kafir sebagaimana mereka berbeda pendapat dalam membuat
batasan iman. Kalau iman diartikan dengan “pembenaran” (al-tasdiq) terhadap Rasulullah saw. Berikut ajaran-ajaran yang dibawanya, maka kafir diartikan dengan
“pendustaan” (al-takzib) terhadap
Rasulullah dan ajaran-ajaran beliau. Inilah batasan-batasan yang paling umum
dan sering digunakan dalam buku-buku akidah,[21] khususnya yang
beraliran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, dan lebih khusus lagi yang beraliran
Asy’ariyah.
Apabila
ditelaah lebih lanjut, dalam istilah kufr
terkandung dua aspek penting yaitu, aspek teologis dan aspek sosiologis. Aspek teologis
kufr adalah berupa pengingkaran
adanya Tuhan dan Rasul-rasul-Nya berikut seluruh ajaran yang mereka bawa. Jadi ditinjau dari segi teologis, kufr berarti tidak percaya adanya Tuhan sebagai pencipta, pemelihara dan
pengatur,[22] mendustakan
Rasul-rasul dan ayat-ayat-Nya (wahyu),[23] dan menolak adanya
hari kiamat atau hari pembalasan.[24]
Adapun
aspek sosiologis kufr antara lain
berupa sikap angkuh, sombong, takabbur dan menganggap dirinya sebagai superman.[25] Kalau dicermati
lebih jauh ayat al-Qur’an yang menyebutkan sikap sombong dan sejenisnya sebagai
sebuah bentuk ke-kufr-an dan diuji
oleh Allah serta akan masuk neraka adalah didasarkan pada penilaian yang
berlebihan pada kekuatan diri sendiri. Sikap semacam ini sama artinya dengan
pemberontakan terhadap kekuasaan Tuhan yang maha tinggi. Sebagaimana Iblis yang
tidak mau mengakui kelebihan Adam AS. Karena merasa lebih tinggi dan lebih
terhormat,[26] Qarun yang
menganggap kekayaan yang dimiliknya semata-mata atas dasar ilmunya sendiri,[27] begitu juga Fir’aun
dengan kekuatan dan kekuasaannya yang besar hingga mengakui dirinya sebagai
Tuhan.[28]
2.
Musyrik (Syirk)
Syirk artinya membuat atau menjadikan sesuatu, selain Allah, sebagai
tambahan, objek pemujaan, atau tempat menggantungkan harapan dan dambaan. Dalam al-Qur’an seringkali
disebutkan bahwa orang-orang musyrik menyembah atau berdo’a terhadap sesuatu,
selain Allah, yang tidak dapat memberi manfaat ataupun mendatangkan bahaya
kepada mereka.[29]
Membuat sembahan-sembahan yang dijadikan sebagai sekutu atau tandingan
bagi Tuhan adalah berarti menentang, sekaligus meremehkan kekuasaan, kebesaran,
dan kesempurnaan-Nya. Jelasnya, perbuatan syirk langsuung menodai keagungan dan
kesucian zat, sifat, dan perbuatan Tuhan.
Oleh karena itu, sangatlah wajar jika dosa syirk menempati posisi paling
berat diantara semua dosa dan kejahatan yang dilakukan oleh anak cucu Adam.
Dalam hal ini, al-Qur’an menegaskan bahwa Allah tidak akan mengampuni dosa
syirk dan bahwa perbuatan syirk adalah perbuatan yang sangat besar.[30]
Hikmah dari tiadanya amupnan bagi dosa syirk, menurut Rasyid Rida dapat
dilihat pada besarnya dampak negatif
yang ditimbulkannya.[31] Agama
Islam diturunkan untuk mensuci-bersihkan jiwa dan meninggikan akal fikiran,
sedangkan syirk berarti mengotorkan jiwa dan merendahkan akal manusia. Dari
jiwa yang kotor dan akal yang rendah akan timbul bermacam-macam kejahatan dan
perilaku tidak bermoral lainnya.
3.
Yahudi
Yahudi atau Judaism adalah nama suatu
agama yang diturunkan Tuhan kepada Musa AS sebagai nabinya dan diajarkan kepada
Bani Ira’il dengan Taurat sebagai kitab sucinya.[32]
Secara umum tanggapan al-Qur’an
terhadap agama atau orang Yahudi kadang
positif dan kadang negatif. Tanggapan positif al-Qur’an tehadap agama Yahudi
tercermin dari pernyataan al-Qur’an bahwa mereka akan mendapatkan keselamtan
jika mereka benar-benar beriman kepada Tuhan yang maha Esa dan hari kiamat
serta berbuat baik sesuai dengan iman mereka itu.[33]
Sedang tanggapan negatif al-Qur’an terhadap mereka disebabkan mereka melanggar
aturan-aturan agama mereka sendiri,[34]
mengklaim sebagai orang yang paling baik dan benar (fanatisme yang berlebihan),[35]
serta menganggap ‘Uzair sebagai anak Tuhan.[36]
4.
Nasrani
Dalam konteks Indonesia, istilah Nasrani mengacu pada nama agama yang
dibawa oleh Isa AS atau Yesus,[37] yang
biasanya diungkap dengan sebutan agama Nasrani.
Agama beserta para pemeluknya inilah yang juga menjadi salah satu sasaran
jadal al-Qur’an. Sebagaimana agama Yahudi, agama nasrani ditanggapi
al-Qur’an dalam bentuk yang positif dan negatif. Adapun tanggapan positif al-Qur’an
terhadap agama atau pemeluk Nasrani tercermin dalam pernyataan al-Qur’an bahwa
mereka akan mendapatkan keselamatan jika mereka benar-benar beriman kepada
Tuhan dan hari kiamat serta berbuat baik
sesuai dengan iman mereka itu.[38] Sedangkan tanggapan negatif al-Qur’an
terhadap mereka karena mereka melanggar janji
Tuhan,[39]
mengklaim sebagai orang yang paling baik dan benar,[40] serta
menganggap Isa AS sebagai anak Tuhan.[41]
Dua komunitas agama (Yahudi dan Nasrani) di atas sering di-khitab
al-Qur’an sebagai ahl al-Kitab, yang memiliki persambungan akidah dengan
kaum muslimin. Tuhan sendiri menegaskan bahwa al-Qur’an datang memberi
pembenaran terehadap sebagian dari ajaran Taurat (kitab suci Yahudi) dan Injil
(Kitab suci Nasrani) serta mengoreksi sebagain yang lainnya.[42] Akan
tetapi, al-Qur’an tidak memberikan penegasan mengenai status ahl al-Kitab
ditinjau dari segi akidah. Al-qur’an hanya mengatakan bahwa ada di antara ahl
al-Kitab yang beriman dan sebagian besar dari mereka fasik.[43]
Para ulama juga sepakat
mengenai hal tersebut. Yang mereka perselisihkan adalah komunitas agama-agama
lain, seperti Majusi, Hindu, Budha,
al-Sabi’un dan sebagainya, apakah termasuk ahl al-Kitab atau bukan. Ada sementara ulama yang memasukkan mereka ke
dalam jajaran ahl al-Kitab, tetapi sebagiannya menolak
Dalam hal ini, Rasyid Rida
menegaskan bahwa Majusi, al-Sabi’un, Hindu, Budha dan agama-agama lainnya dapat
dikategorikan sebagai ahl al-Kitab.[44] Menurutnya, agama-agama tersebut pada
mulanya berpaham monoteisme (tauhid) dan memiliki kitab suci. Akan
tetapi karena perjalanan waktu yang begitu panjang agama-agama tersebut
kerasukan paham-paham syirk atau paganisme.
Adapun tanggapan al-Qur’an
terhadap ahl al-Kitab kadang positif dan kadang negatif. Sikap negatif
al-Qur’an terhadap ahl al-Kitab dikarenakan mereka merubah atau
mendustkan dan menyembunyikan sebagian isi kitab suci mereka terlalu
berlebihan, hingga menolak atau mengingkari kebenaran yang ada di luar mereka.
Mereka tergolong orang-orang kafir yang akan masuk neraka jahannam.[45] Sedangkan sikap positif al-Qur’an
terhadap ahl al-Kitab tercermin dari penghargaan al-Qur’an yang tinggi
terhadap mereka yang tetap konsekuen (istiqomah) terhadap ajaran agama
dan kitab suci mereka. Mereka termasuk orang-orang yang saleh dan akan
mendapatkan pahala di sisi Allah.[46]
D. Respon al-Qur’an terhadap Pihak Lain
Berkaitan
dengan pemahaman mengenai respon al-Qur’an terhadap pihak lain atau pemeluk
agama/kepercayaan selain Islam ini menurut Farid Esack dapat dibedakan menjadi
dua. Pertama, pemahaman yang dilakukan oleh sarjana-sarjana Muslim
tradisional-konservatif. Mereka mengambil apa yang hanya dapat digambarkan
dengan kekuatan bahasa dan berusaha memahami semua teks al-Qur’an menjadi makna
yang eksklusif. Kedua, pemahaman yang dilakukan oleh sarjana-sarjana
liberal, mereka berpendapat bahwa tidak ada teks al-Qur’an yang mencela pihak
lain.[47]
Bila
dicermati lebih jauh, respon atau tanggapan al-Qur’an terhadap pihak lain atau
pemeluk agama lain (selain Islam) dapat dibedakan ke dalam dua sikap, yaitu
eksklusivisme dan inklusivisme.
Yang
dimaksud dengan eksklusivisme adalah sikap yang menyatakan bahwa harga dirinya
sajalah yang benar, sedang pihak lain salah. Sedangkan inklusivisme adalah
sikap open-mindedness terhadap kebenaran yang dimiliki pihak lain
sepanjang mempunyai keterkaitan dengan kebenarannya sendiri.
Sikap eksklusive al-Qur’an terhadap pihak lain
terjadi pada saat al-Qur’an melakukan tanggapan atau sanggahan terhadap orang
kafir, musyrik, bahkan juga terhadap agama selain Islam. Di antara sikap
ekklusivisme al-Qur’an terhadap pihak lain dapat berupa celaan, ancaman siksa
dan sikap tidak bersahabat. Contoh kongkritnya antara lain, al-Qur’an mencela
orang musyrik dan para penyembah berhala sebagai orang yang sesat dan lemah.[48] Contoh
lain berupa ancaman al-Qur’an terhadap orang-orang kafir dengan siksa yang
pedih baik di dunia ataupun di akherat.[49]
Sedangkan sikap inklusive al-Qur’an terhadap pihak
lain, terutama sekali ditujukan kepada agama atau pemeluk agama selain Islam.
Dalam hal ini al-Qur’an tanpa ragu-ragu memmbenarkan keimanan agama lain,
bahkan melarang umat Islam mengganggu, apalagi
memusuhi mereka.[50]
Al-Qur’an juga melarang umat Islam memaksakan agama Islam kepada pemeluk agama
lain.[51] Umat
Islam diperintahkan untuk menjaga keharmonisan hubungan dan melakukan
dialog/diskusi dengan orang yang beragama lain dengan cara yang baik.[52]
Untuk
itu, kapan al-Qur’an bersikap eksklusive dan kapan bersikap inklusive merupakan
persoalan yang sangat penting dan harus dipahami secara mendalam dan
komprehensif. Sebab bersikap eksklusive dan inklusive dalam beragama dalam
konteks yang salah akan menjadi preseden buruk bagi kelangsungan dan
keharmnonisan kehidupan beragama. Padahal agama pada prinsipnya bertujuan untuk
membawa manusia pada kebahagiaan yang hakiki.
Ditinjau
dari segi subyeknya (pihak yang melakukan tanggapan atau sanggahan) Jadal
al-Qur’an dapat dibedakan menjadi dua yaitu jadal langsung dan jadal
tidak langsung.
Jadal
langsung adalah jadal yang dilakukan oleh al-Qur’an sendiri, seperti tanggapan
al-Qur’an terhadap Muhammad SAW yang telah mengharamkan apa yang sebenarnya
dihalalkan oleh Allah SWT. Bantahan al-Qur’an tersebut langsung dilakukan oleh
al-Qur’an sendiri dengan menegur Muhammad SAW agar jangan melakukan hal seperti
itu lagi.[53]
Oleh karena itulah Jadal
al-Qur’an ini disebut dengan jadal langsung.
Sedangkan jadal tidak langsung
adalah Jadal al-Qur’an yang menggunakan subyek-subyek tertentu dalam
melakukan tanggapan atau sanggahan terhadap pihak-pihak yang berbeda pendapatnya
dengan apa yang diajarkan al-Qur’an, seperti perselisihan antara Ibrahim AS
dengan penguasa di masa itu (raja Namruz) tentang Tuhan. Dalam pembicaraan di
antara mereka berdua ini, al-Qur’an secara tidak langsung hendak menjelaskan
tentang Tuhan. Yaitu dengan menggunakan cerita tentang perdebatan antara
Ibrahim AS dengan penguasa yang zalim/lalim ketika itu.[54] Oleh karena itulah perdebatan antara
Ibrahim AS dengan penguasa yang lalim ketika itu disebut jadal tidak
langsung.
Adapun jika ditinjau dari segi obyeknya
(pihak-pihak yang dijadikan sasaran), Jadal al-Qur’an dapat dibedakan
menjadi dua macam, yaitu jadal internal dan jadal eksternal.
Jadal internal adalah Jadal al-Qur’an yang
ditujukan kepada umat Islam sendiri. Jadal ini terjadi karena umat Islam
sendiri sering menyalahi apa yang diajarkan oleh al-Qur’an. Oleh karena itulah
al-Qur’an melakukan tanggapan untuk meluruskan kesalahan umat Islam tersebut
seperti tanggapan al-Qur’an yang ditujukan kepada umat Islam yang mempersoalkan
tentang harta rampasan perang, sehingga menimbulkan perpecahan di kalangan
mereka. Kemudian memerintahkan kepada Nabi untuk menjelaskan bahwa harta
rampasan perang adalah milik Allah SWT dan Rasulnya. Oleh karena itu mereka
tidak perlu memperebutkannya, apalagi sampai menimbulkan perpecahan.[55]
Sedangkan jadal eksternal adalah Jadal
al-Qur’an yang ditujukan kepada pihak lain atau pemeluk agama/kepecayaan selain
Islam. Seperti tanggapan atau sanggahan al-Qur’an yang ditujukan kepada orang
Yahudi dan Nasrani yang mengklaim diri mereka sebagai orang yang paling
dikasihi oleh Tuhan. Kemudian al-Qur’an membantah klaim tersebut dengan
mengatakan bahwa semua manusia sama di hadapan Tuhan. Tuhan akan mengampuni
atau menyiksa siapa saja yang dikehendakinya dan segala yang ada di langit dan
di bumi adalah kepunyaannya dan akan kembali kepadanya.[56]
E.
Metode Jadal al-Qur’an
Manna
al-Qattan mengemukakan bahwa terdapat dua cara atau metode dalam Jadal
al-Qur’an, yaitu:
1.
Dengan menyebutkan ayat-ayat kauniyah yang disertai
perintah melakukan perhatian dan pemikiran untuk dijadikan dalil bagi penetapan
dasar-dasar aqidah, seperti ketauhidan Allah dalam uluhiyah-Nya dan keimanan
kepada para malaikat, kitab-kitab, rasulnya dan hari kemudian.
2.
Dengan cara membantah pendapat para penentang dan lawan
serta mematahkan argumentasi mereka, baik dengan bentuk membungkam lawan
bicara, mengambil dalil dengan mabda’ (asal kejadian) untuk menetapkan ma’ad
(hari kebangkitan), membatalkan pendapat lawan dengan membuktikan kebalikannya,
menghimpun dan memerinci atau dengan membungkam lawan dan mematahkan hujjahnya.[57]
Sebagai
bahan komparasi, D.W. Hendrikus mengemukakan bahwa debat (jadal) yang merupakan
bagian dari ilmu retorika pada hakikatnya adalah adu argumentasi antara pribadi
atau antar kelompok manusia, dengan tujuan mencapai kemenangan untuk satu
pihak. Dalam debat setiap pribadi atau kelompk berusaha menjatuhkan lawannya,
supaya pihaknya pada posisi yang benar.[58]
Debat
dimulai dengan meneliti pendapat dan posisi lawan bicara, setelah itu
berkonsentrasi pada titik lemah argumentasi lawan. Setelah itu, terjadilah
proses adu pikiran dan pendapat secara serius sampai lawan bicara mengakui
kelemahan hujjahnya.[59]
Oleh
karena itu, debat dalam konteks ini, memiliki karakter pembinaan yang tinggi.
Sebab dengan debat orang akan terlatih untuk menyiapkan bahan diskusi secara
teliti, berpikir rasional, tajam merumuskan pikiran secara teliti dan tepat
dasar. Debat juga bisa dipakai
latihan bagi peserta untuk berbicara singkat, padat dan mengesankan.[60]
Demikianlah beberapa metode yang dapat
diterapkan dalam jadal atau berdiskusi agar dapat membuahkan hasil yang
maksimal dan tetap pada kaidah-kaidah berpikir kreatif, logis, reseptif dan
implementatif.
BAB III
KESIMPULAN
Dari
berbagai uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Jadal al-Qur’an
merupakan tanggapan/sanggahan al-Qur’an terhadap pihak-pihak yang berbeda
pendapat dengan apa yang diajarkan oleh al-Qur’an, baik itu orang non-Muslim,
orang yang ingkar ataupun orang Islam sendiri.
Dalam
melakukan jadal ini al-Qur’an memberikan tuntunan agar dilakukan dengan
cara yang baik. Dengan memperhatikan subyek dan obyeknya serta mempertimbangkan
bagaimana sikap yang harus diambil ketika dihadapkan pada obyek dan konteks
yang berbeda. Apakah bersikap eksklusif ataukah
inklusif. Sebab dua sikap inilah nampaknya yang sering dipraktekkan
dalam Jadal al-Qur’an. Terutama ketika berhadapan dengan pihak lain yang
menjadi sasaran utamanya, al-Qur’an adakalanya memberi tanggapan positif dan
adakalanya memberi tanggapan negatif. Di sinilah relevansi antara jadal
al-Qur’an dan pihak lain, khususnya terhadap agama atau pemeluk agama
selain Islam, jadal al-Qur’an menampakkan aspek-aspek dialogis, yang
selanjutnya dibangun beberapa paradigma dialog antar agama.
DAFTAR PUSTAKA
al-Alma’i, Zahir bin ‘Iwadh, Manahij
al-jadal fi al-Qur’an al-Karim, t.t.p: t.p., t.t.
al-Asfahani, al-Raghib, Mu’jam
Mufrada>t Alfa>zh al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
al-Baqi, Muhammad Fu’ad Abd, Mu’jam
Mufahras lialfaz al-Qur’an al-karim, Bairut: Dar al-Fikr,1981.
Cawidu,
Harfuddin , Konsep Kufr dalam al-Qur’an, Jakarta: PT. Bulan Bintang,1991.
Echols, John M. dan Hasan Shadily, Kamus
Inggris – Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia, 1995.
Esack, Farid, Qur’an, Liberation
and Pluralism, Oxford: Oneword, 1997.
Haikat, Muhammad Husain, at.al., Mu’jam
Alfa>zh al-Qur’an al-Karim, Kairo: al-Hai’ah al-Misriyah al-Ammah li al-Ta’rif wa
al-Nasyr, 1970.
Hendrikus, Dewi
Wuwur, Retorika, Yogyakarta: Kanisius, 1991.
al-Khudrawi,
Deep, Qamu>r
al-Alfa>zh
al-Isla>mi
‘Arabi – Inklizi, Beirut: al-Yamamah, 1995.
Ma’luf,
Louis, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A'la>m, Beirut: Dar
al-Masyriq, 1987.
Manzur, Ibn, Lisan
al-Arab, Beirut: Dar al-Fikr, 1994.
Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan
Islam, Jakarta: Logos Wacana Islam, 1997.
Panikar, Raimundo, Dialog Intra
Religius, terj. Kelompok Studi Filsafat Driyarkara, Yogyakarta: Kanisius,
1992.
al-Qattan, Manna’ Khalil, Mabahis
Fi Ulum al-Qur’an, Beirut: Syirkah al-Muttahidah li al-Tausi, 1973.
Rida, M. Rasyid, Tafsir al-Manar,
Kairo: Dar al-Manar, 1973.
al-Suyuti, al-Itqan fi Ulum
al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
al-Syarqani, Hasan, al-Jadal fi
al-Qur’an, Iskandariyah: al-Ma’arif, t.t.
Yusuf,
Tayar, Ilmu Praktek Mengajar, Bandung: PT. Al-Ma’arif. 1985.
al-Zarqani,
Muhammad Abdul Azim, Manahil al-Ifan fi Ulum al-Qur’an, Beirut: Dar
al-Fikr, t.t.
[1]
Manna’ Kholil al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an (Beirut: Syirkah
al-Muttahidah li al-Tausi’, 1973), hlm. 298.
[2]
Al-Suyuti, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), II,
hlm.135.
[3]
Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A'la>m (Beirut: Dar
al-Masyriq, 1987), hlm. 82.
[4]
Muhammad Husain Haikat, at.al., Mu’jam Alfa>zh al-Qur’an al-Karim (Kairo:
al-Hai’ah al-Misriyah al-Ammah li al-Ta’rif wa al-Nasyr, 1970), I, hlm. 194.
[5]
Al-Raghib al-Asfahani, Mu’jam Mufrada>t
Alfa>zh
al-Qur’an (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), hlm. 134.
[6] Ibn Manzur, Lisan al-Arab (Beirut:
Dar al-Fikr, 1994), Juz 11, hlm. 105.
[7] Deep al-Khudrawi, Qamu>s al-Alfa>zh al-Isla>mi ‘Arabi – Inklizi (Beirut: al-Yamamah, 1995), hlm. 66.
[8]
John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris – Indonesia (Jakarta:
PT. Gramedia, 1995), hlm. 37, 145, 186 dan 188.
[9]
Zahir bin ‘Iwadh al-Alami, Manahij al-Jadal fi al-Qur’an al-Karim
(t.t.p: t.p., t.t.), hlm. 20.
[10]
Ibid., hlm. 21.
[11]
Lihat QS. (2): 30-32.
[12]
Lihat QS. (7): 12-18.
[13]
Lihat QS. (18): 54 dan QS. (16): 111.
[14]
Hasan al-Syarqani, al-Jadal fi al-Qur’an (Iskandariyah: al-Ma’arif,
t.t.), hlm. 31.
[15]
Ibid., hlm. 33.
[16]
Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi, Mu’jam Mufahras lialfaz al-Qur’an al-karim (Bairut:
Dar al-Fikr,1981), hlm. 20-21.
[17]
QS. (6): 19.
[18]
QS. (3): 153.
[19]
QS. (4): 106.
[20] Harfuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam al-Qur’an (Jakarta: PT. Bulan Bintang,1991),
hlm. 6.
[21] Ibid., hlm.
7.
[22] QS. (2): 28
[23] QS. (34):43
[24] QS. (6): 29-30
[25] QS. (2): 34, QS. (4): 173, QS. (16): 22-23, QS.
(39): 59
[26] QS. (38):74-76.
[27] QS. (28):78.
[28] QS. (79):24.
[29]
QS. (21):66, QS. (5):76, QS. (6):71 dan lain-lain.
[30]
QS. (4):48, bandingkan dengan QS. (4):116
[31]
Lihat M. Rasyid Rida, Tafsir al-Manar (Kairo: Dar al-Manar, 1373), V,
hlm. 148-149.
[32] Burhanuddin Daja, Agama Yahudi (Yogyakarta: Bagus Arafah, 1982), hlm. 56.
[33] QS. (2):62 dan QS. (6):69.
[34] QS. (4):154-155
[35] QS. (5):18.
[36] QS. (9):30.
[37] M. Arifin, Menguak Misteri Agama-agama
Besar, (Jakarta: PT. Golden Terayon Pers, 1997), hlm. 133.
[38]
QS. (2):62 dan QS. (6): 69.
[39]
QS. (5):14.
[40]
QS. (5):18
[41]
QS. (9):30.
[42]
QS. (3):81., QS. (4):47, QS. (5):48 dan QS. (6):92.
[43]
QS. (3):110.
[44]
M. Rasyid Rida, Tafsir …, VI, hlm. 187-8
[45]
QS. (3):71, QS. (4):171, dan QS. (5):77.
[46]
QS. (3):113-115 dan 199.
[47]
Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism (Oxford: Oneword, 1997),
hlm. 147.
[48] Lihat QS. (4): 116. dan QS. (22): 73.
[49] Lihat QS. (9): 74.
[50] Lihat QS. (6): 52.
[51] Lihat QS. (2): 156. dan QS. (10): 99.
[52] Lihat QS. (29): 46. dan QS. (60): 8-9.
[53] Lihat QS. (66): 1.
[54] Lihat QS. (2): 258.
[55] Lihat QS. (8): 1.
[56] Lihat QS. (5): 18.
[57]
Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahis…., hlm. 303.
[58] Dewi Wuwur Hendrikus, Retorika
(Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 120.
[59]
Ibid.
[60]
Ibid., hlm. 128.